15 Februari 2011

BUKU BARU (3)


Botchan mungkin bukan "bocah" nakal. Dia hanya tumbuh dengan idealisme yang kuat mengakar. Hidup di bawah asuhan seorang ayah, yang menurutnya hanya memikirkan kepentingan kakak lelakinya, Botchan tidak hanya terbentuk menjadi sosok berkemauan keras, kepalanya juga keras. Seperti batu. Tapi dia menurut pada pengasuh masa kecilnya, Kiyo. Alasannya, tentu saja di mata Botchan, Kiyo lebih berpendirian. Sosok yang suatu hari disadarinya sebagai satu-satunya orang yang dia sayangi. Kendati bertugas sebagai tokoh sentral di tangan si penulis, Natsume Soseki, Botchan yang artinya tuan muda ini bukanlah gambaran figur manusia sempurna. Dia pemuda biasa yang hidup di zaman Edo. Meski berpaku pada logika, Botchan sedikit sensitif dan grasa grusu. Dia menjalani hidup dengan tingkat kecerdasan yang juga tidak di atas rata-rata. Lulus sekolah, Botchan ditawari pekerjaan menjadi guru matematika di Shikoku, pulau terkecil di Jepang dengan jumlah penduduk yang paling sedikit. Dia menerimanya, tanpa berpikir. Di Shikoku lah dia belajar berinteraksi dengan orang kebanyakan. Ternyata, tak mudah menjadi seorang guru muda di desa terpencil. Botchan tentu saja diremehkan, dianggap tidak sopan dan pemikirannya dinilai terlalu liar. Sehingga si guru baru ini perlu didisiplinkan. Botchan tidak hanya menerima pertentangan dari sejumlah guru, tetapi juga murid. Dia tak sungkan menegur murid dan berbicara blakblakan. Menurutnya, murid-murid itu tidak nakal. Kenakalan itu wajar sebagai bocah. Dia mengkritik, gurulah yang salah mendidik, membiarkan murid berbuat semau mereka tanpa filter. Akibatnya, di mata Botchan, murid-muridnya bagai segerombolan berandal kecil yang susah diatur dan tidak punya sopan santun. Sebaliknya, di mata guru dan murid-murid, Botchan tak ubahnya orang kota yang "udik" di desa. Setiap perbuatannya terendus para murid, juga guru. Entah saat dia mencari kedai mie, atau melakukan ritual mandi air hangat. Segala sesuatu yang wajar dibenaknya. Tapi polemik tidak hanya berasal dari murid. Dia menyadari guru-guru di sekolah tempatnya mengajar aneh. Dia pun berinisiatif memberi mereka julukan khusus. Botchan tidak bisa mengenali mana guru yang sebenar-benarnya baik, dan mana yang tidak. Perlahan dia belajar memahami karakter satu per satu manusia di sekelilingnya itu. Melalui pergaulan dan gosip-gosip yang beredar, Botchan berusaha menelanjangi serigala licik berburu domba. Dia pun sadar siapa yang ada di hadapannya, mulai dari pembohong, penjilat, penakut, pecundang, tukang adu domba dan penindas ulung. Juga kaki tangan yang tak ubahnya parasit, yang cuma menggemakan suara tuannya.
Botchan berontak!
Setting novel klasik Jepang pertama Soseki ini ditulis 1906 silam ini memang tidak lagi selaras dengan situasi Jepang zaman sekarang. Namun, novel ini diklaim sebagai cerita yang paling populer dan banyak dibaca di Jepang era modern.
Sebaliknya, di era apapun, kisah berumur seabad itu masih bisa kita temui. Botchan merupakan salah satu bukti ilmu itu ditularkan. Bila cara menularkannya tepat, hasilnya bisa jadi baik. Tapi bila menularkannya buruk, belum tentu hasilnya tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar